The Last Warrior, Part 2
Berikut pengalaman astral dari salah satu peserta JA dengan nama samaran “Kalaras”
Seperti diceritakan pada jurnalastral.com | @Arzentrha
Baca bagian pertama di link berikut :
The End of History and The Last Warriors : SelepasMu Pergi
Kembalinya Sang Pembawa Cahaya, pertanda bahwa zaman tengah chaos. Zaman sudah diliputi oleh kegelapan. Keadaan sudah tidak seimbang, di antara positif dan negatif, lebih cenderung negatif. Atau di antara kebaikan dan kejahatan, lebih banyak kejahatan yang meraja. Akibatnya, semesta menjawab, dengan meminta dikirim sang pembawa cahaya yang bisa menebarkan energi positif dan menerangi kegelapan.
Jika sang pembawa cahaya berhasil menjalankan tugasnya, berhasil membawa kembali kehidupan ke dalam keseimbangan; positif-negatif, baik-buruk, sudah kembali setara. Artinya, ia telah berhasil menjalankan tugasnya. Sebaliknya, jika yang diutus tidak berhasil, dalam artian tidak berhasil menyeimbangkan positif-negatif, baik-buruk. Pun jika mereka ditentang keras atau bahkan sampai dibunuh oleh orang-orang yang ia ajak ke jalan kebenaran. Maka alam akan segera menjawabnya, reset akan terjadi, tidak bisa terhindarkan lagi, tinggal menunggu waktu saja.
Jika tak ada sinar maka kehidupan kita di ambang sirna.
Prahajyn pada 40.000 SM
Kabut tebal memudar pelan-pelan, disambut suara burung-burung kecil yang bersahutan. Suatu pagi yang cerah di sudut kota Prahajyn, 40.000 ribu tahun yang lalu.
Tampak dari kejauhan, dua orang pemuda yang sedang berbincang akrab satu sama lain. Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari keduanya yang membuat suasana pagi yang dingin itu terasa hangat. Ke mana Ziusudra? Dari tadi saya cari-cari, tak nampak batang hidungnya. Padahal, di square sedang ramai festival bunga. Rencananya, kita akan sama-sama berangkat ke sana.
“Apa ia sedang di gudang kayu?” Tutur Oasis.
Saya udah mencari ke sana, tetap nggak ada. Kata Hebel.
Coba kita datangi aja rumahnya, siapa tahu ada.
Ya, saya mau ke rumahnya, biar lebih pasti. Ucap Oasis.
Os… Saya pamit dulu..
Seketika Hebel meluncur deras ke rumah Ziusudra, berkelabat dengan sangat cepat, layaknya hembusan angin yang sangat kencang. Pergi berlari menjauh meninggalkan Oasis.Tak lama, Hebel sudah sampai di depan rumah yang berbentuk piramid dengan warna putih terang mengkilap. Dindingnya seperti kristal yang tebalnya 20 cm. Hebel tidak mengetuk pintu, tetapi menaruh telapak tangannya di pintu rumah dan langsung mengucapkan salam, “Samprazaaan… “
Setelah itu, munculah hologram di pintu rumah, hologram berupa rekaman utuh visual diri Ziusudra. Lewat hologram itu, Ziusudra menginformasikan kepada setiap tamu yang datang, jika ia sedang tidak di rumah.
“Lha, di rumahnya juga tidak ada. ”
“Ke mana orang itu? ”
“Ya udah besok, saya ke sini lagi, siapa tau Ziusudra udah pulang.” Pikir Hebel.
Kurang lebih 15 km dari rumahnya, di hutan Gunung Sunda, tampak dari kejauhan seorang pemuda yang mengenakan baju seperti baju hercules sedang asyik berjalan seorang diri menelusuri hutan, kemudian ia berhenti sejenak dan duduk di atas akar pohon besar, sambil memperhatikan keadaan di sekeliling hutan.
Saat itu dari atas pohon terdengar ada suara yang menyapanya. “Haii Ziusudra…” Pemuda itu spontan menoleh ke atas, dan melihat ada seekor burung raksasa dengan bulunya yang indah, berwarna hitam-kuning sedang bertengger di atas dahan pohon Srikaya. Biar lebih mudah menyebutnya, sebut saja burung raksasa itu Cendrawasih. Ziusudra pun melambaikan tangan, sambil balas menyapa,
Ziusudra: ” Samprazaaan…, Haiii… Sedang apa di situ?”
Cendrawasih: “Rhampiazaaaa.. Saya lagi cari madu buat anak saya.”
Ziusudra: “Oh,”
Cendrawasih: “Ternyata di pohon ini tak ada. Mau tak mau, saya harus mencari di tempat lain. Sedang apa kau di sana Ziusudra?”
Ziusudra: “Saya lagi istirahat…”
Cendrawasih: “Selamat istirahat Ziusudra, Ok, saya mau melanjutkan perjalanan, mencari madu lagi. Sampai jumpa Ziusudra…”
Ziusudra: “Sampai jumpa juga…”
Sinar mentari, menyelinap masuk ke hutan melalui celah-celah dedaunan pohon-pohon raksasa. Pemuda rupawan itu memang selalu suka dengan suasana hutan. Ziusudra memperhatikan suara-suara dari segala jenis burung, suka mendengarkan suara-suara serangga di pagi hari, melihat kawanan rusa yang berlarian ke sana ke mari dengan lincahnya, mengamati capung warna-warni yang hinggap sebentar di daun pakis besar, lalu terbang lagi entah ke mana. Saat duduk di atas akar pohon raksasa, tanpa sadar ia terlelap sebentar.
Setelah bangun, Ziusudra kembali melanjutkan perjalanannya. Kembali menerabas jalan setapak yang panjang, jalan kaki selangkah demi selangkah. Ia sengaja tidak berlari kencang atau terbang melayang karena tidak ingin mengganggu atau merusak ekosistem yang ada di dalam hutan. Sehingga dia lebih memilih jalan kaki saja, walau pelan, yang penting aman, tidak mengganggu flora dan fauna serta bisa selamat sampai tujuan. Pikirnya waktu itu.
Sebelum petang datang, Ziusudra sudah berada di hulu sungai Taruma. Cuci muka di sungai yang airnya sangat bening, airnya pun bisa diminum tanpa kudu dimasak terlebih dulu karena airnya sudah sangat bersih. Sesudah itu, ia menyebrangi sungai dengan cepat, berkelebat bagai belalang maka seketika ia sudah ada di seberang sungai, tepat berada di bawah lokasi yang akan menjadi tempat pertapaannya, yaitu gua Kendan.
Sekali melompat ke arah atas, ia pun sampai di mulut gua. Di mulut gua itu, Ziusudra mengeluarkan segala perbekalan yang ada di dalam tasnya. Ia mengambil beberapa buah batu kristal untuk penerangan.Tapi, ia baru ingat, ia lupa membawa bekal makanan. Tanpa pikir panjang, Ziusudra pun langsung keluar dari gua itu, mau tak mau, ia harus kembali lagi ke hutan untuk mencari bahan makanan. Karena sering main ke hutan, Ziusudra sudah hafal lokasi-lokasi sumber makanan yang ada di dalam hutan. Tidak butuh waktu lama, Ziusudra sudah berhasil menemukan tanaman ubi jalar yang tumbuh liar di hutan. Ia hanya mengerahkan sedikit energinya untuk menggali tanah dan mengambil ubi secara cepat. Setelah cukup banyak, ubinya dimasukkan ke dalam kantong satu persatu.
Ziusudra keluar dari hutan dengan berjalan kaki dengan santainya. Di tepian sungai, ia mencuci ubi-ubi tersebut dan sekalian membersihkan tangan yang berlumuran penuh tanah. Proses bersih-bersih selesai, Ziusudra melintas sungai lagi dengan super cepat. Saking cepatnya, kakinya seperti tidak menapak ke air. Sesampainya di seberang sungai, celana dan bajunya pun tidak basah sama sekali. Lalu, ia naik dan masuk ke dalam gua dengan sekali melompat saja.
Di dalam gua, suasana sudah terang karena nyala dari batu kristal segi lima yang ia keluarkan dari tasnya tadi. Batu kristal itu, kalau di jaman sekarang seperti scotlite, tapi cahayanya sangat terang sekali, dapat menjangkau hingga ke sudut gua. “Wah, ini gua yang indah..” Tutur Ziusudra.
Lantas, ia masuk lebih ke dalam lagi. Ia perhatikan keadaan sekelilingnya, aman, tidak ada mara bahaya, tidak ada tanda-tanda keberadaan binatang buas atau makhluk-makhkuk lainnya. Setelah dinilai aman, ia mulai bersiap-siap untuk membakar ubi. Pertama, Ziusudra membuat lubang berukuran sedang. Ia membuat garis lingkaran dengan ukuran diameter 60 cm. Lalu membasahi sedikit demi sedikit tanah yang ada di dalam garis lingkar itu.
Kemudian, Ziusudra mengambil alat seperti batang besi seukuran panjang lengannya. Nah, alat yang hanya seperti batang besi itu, ternyata alat multifungsi yang bisa disetting menjadi beragam macam alat. Hanya sekali pencet tombol, batang besi bisa bertransformasi menjadi seperti cangkul pada jaman sekarang. Setelah merasa alat yang dipegangnya cocok untuk menggali lubang. Ziusudra menggali tanah dengan cepatnya. Hanya butuh beberapa menit saja, lubang tanah sudah jadi, dengan kedalaman mencapai 50 cm. Kemudian, Ziusudra membungkus ubi-ubi dengan balutan daun pisang.
Ubi yang sudah dibalut dengan daun pisang dimasukkan ke dalam lubang, setelah itu ditimpa lapisan tanah tipis-tipis, tidak dipadatkan. Lalu ditindih potongan dahan, ranting, dan daun-daun kering di atasnya. Sebelum membakar, Ziusudra menyiramkan dulu minyak getah pohon damar ke dahan, ranting, dan daun-daun kering. Setelah itu, ia mundur ke belakang, mengambil ancang-ancang, dengan jarak 50 cm dari tempat pembakaran. Posisi sedikit jongkok, menghela nafas panjang, terus menghembuskan nafas secara perlahan, pelan-pelan. Begitu selama 3 x. Ia mengarahkan telapak tangan kanannya ke titik pembakaran. Ia menghela nafas lagi, terus menghembuskan secara perlahan-lahan. Dia fokuskan terus energi yang ada di dalam tubuhnya agar terkumpul semua di telapak tangan. Kemudian, Ziusudra menghentakkan energi yang ada telapak tangan kanannya, sambil menghembuskan nafas yang ketiga. Seketika dahan, ranting, dan daun-daun kering pun terbakar. Betapa senangnya, setelah ia telah berhasil membakar objek yang ada di depannya. Ziusudra berdiri dengan cepat, mengambil potongan-potongan dahan, ranting, dan daun kering yang masih tersisa untuk ditambahkan ke pembakaran, terus menyiramkan minyak getah pohon damara ke tengah api.
Buzzz… Api menyala lebih besar daripada sebelumnya, terus mengecil lagi ke ukuran sedang, nyala api pun terlihat konstan. Selanjutnya, dia hanya menunggu waktu sampai api mengecil, menjadi bara dan auto padam. Setelah benar-benar padam, ubi yang dikubur, harus segera diangkat.
Sambil menunggu proses matangnya ubi, Ziusudra pun istirahat sejenak. Tak lama, aroma wangi ubi bakar yang sudah matang, tipis-tipis mulai tercium. Ia pun penasaran ingin segera mencicipi rasa ubi bakarnya itu. Ziusudra meminggirkan bara api terlebih dahulu, lalu menggunakan kembali besi yang bisa berubah bentuk menjadi cangkul untuk menggali tanah dengan sekejap. Ia mengambil ubi-ubi yang ada di lubang pembakaran. Kemudian membuka daun pisang yang membalutnya. Dia belah ubi-ubi yang sudah matang dan disimpan di atas alas lembaran daun pisang. Ziusudra tidak meniupi ubi-ubi yang masih panas, tetapi ia cukup sabar menunggu sampai ubi-ubi tersebut mulai dingin dengan sendirinya dan layak dimakan. Setelah mulai dingin, dia ambil satu ubi untuk dicicipi.
Sebelum makan, Ziusudra diam sebentar. Menundukan kepala dan memejamkan matanya untuk berdoa dan bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rezeki. Setelah hening sesaat, kemudian Ziusudra makan dengan lahapnya. Meski makanan sederhana, tetapi ia sangat menyukai penganan ubi bakar ini. Baginya ubi bakar adalah makanan yang sehat dan tentunya “ramah” di lidah. Tak terasa, ia telah melahap habis 2 ubi bakar dalam sekejap dan merasa sudah cukup untuk mengganjal perutnya. “Masih ada 3 lagi, sisanya buat nanti malam aja” Pikirnya.
Ziusudra membungkus sisa-sisa ubi, ia simpan di pinggir tas. Selanjutnya, mengambil wadah minum yang ada di tas. Dia duduk bersila, dengan menyebut nama-Nya terlebih dahulu, lalu minum glek, glek, glek.. Sebanyak tiga kali tegukan.
“Ah, sekarang waktunya, saya meditasi.” Inilah alasan mengapa Ziusudra jauh-jauh datang ke gua yang ada di tengah hutan ini. Sebetulnya, sudah lama, setiap ia akan tidur malam, ia kerap mendapatkan panggilan pesan untuk melakukan hening /bermeditasi, menjauh dari keramaian. Sebenarnya, ia juga tidak tahu pesan tersebut datang dari mana. Tetapi, ia berusaha untuk menjaga supaya pikirannya tetap lurus, ia hanya berharap itu pesan yang baik, bukan bisikan atau panggilan setan.
Seiring waktu, Ziusudra larut dalam meditasi. Menikmati setiap hela dan hembusan nafas panjangnya. Sedikit demi sedikit, nafasnya mulai tenang. Ritme jantung mulai berdetak pelan, tidak sekencang, seperti saat awal bermeditasi. Beragam warna terbayang sepintas. Lamat-lamat terdengar suara, persis suara orang yang sering mengantarkan ia untuk bermeditasi. Awalnya, suara itu terdengar pelan, tapi lambat laun makin terdengar jelas. Suara itu pun menyuruhnya untuk membuka mata yang sedari tadi terpejam. “Bukalah matamu, Ziusudra!” “Hai, cucuku bukalah matamu sekarang juga! “
Waktu membuka mata, ia kaget dan tidak kuat melihat bola cahaya yang besar, yang menyilaukan, yang melayang di hadapannya. Spontan, ia menutup matanya lagi.
“Tenang.. Tenanglah… Ziusudra.. Coba sekarang buka matamu.”
“Hmmm… siapa anda gerangan tuan?” Namun, ia masih belum berani membuka matanya.
“Ayo, Ziusudra bukalah matamu. ”
Tiba-tiba ada suara lain, entah suara siapa, “Ia adalah Dharmasraya.” Ziusudra pun kaget.. “Hahh,… Dharmasraya,?!. ”
Ziusudra serasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi entah di mana.
“Bukalah mata sekarang dan lihat saya.”
Ziusudra membuka matanya pelan-pelan, ia pun kaget sekaget-kagetnya, terkejut untuk kedua kalinya. Sekarang yang nampak di hadapannya bukan lagi bola bercahaya yang tadi menyilaukan, tetapi orang bercahaya yang berdiri melayang. Berwajah teduh, rambutnya hitam panjang bergelombang, dengan baju berjubah putih lengan panjang, celana panjang, dengan sepatu boot yang keren. Intinya, di depan Ziusudra berdiri sosok orang yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia pun heran, celingak-celinguk, bingung melihat keadaan sekitarnya, yang suasananya berubah, bukan berada di dalam gua tempat ia bermeditasi. Tapi di suatu ruangan yang serba putih, ruangan tanpa batas yang tak bertepi, dengan gravitasi yang lebih kuat.
Dharmasraya berbicara kepadanya dengan mulut tertutup, yang bibirnya tidak bergerak sama sekali. Ziusudra, sekarang kau berada di ruangan hampa udara di dimensi lain. Tadi saat memejamkan mata, tanpa kau sadari, saya pindahkan dari gua ke tempat ini. Supaya lebih aman.
Ziusudra, sudah saya amati kau sejak lama, sejak kelahiranmu di bumi ini. Ziusudra hanya diam mendengarkan. Dia merasa lemas, segan dan hormat kepada Dharmasraya. Ziusudra, kau bukanlah orang Rhama dan bukan juga Atlantean. Ibumu pun bukan orang Rhama, ibumu adalah perempuan asli Mu yang terpilih sebagai ibu yang mengandung dan membesarkanmu hingga dewasa sekarang di bumi ini.
Ziusudra, saya ingin mengingatkan, kau adalah satu dari 20 orang lainnya, yang dikirim oleh pemimpinMu untuk membawa misi. Misi yang menyeimbangkan kembali bumi yang saat ini didominasi energi gelap. Saya akan mengaktifkan energi bawaan yang ada di dalam tubuhmu. Saat ini saya deteksi tingkat energi sudah mencapai kisaran 5 %. Sekarang, duduk sila, punggung tegak lurus, rileksasi, kosongkan pikiranmu.
Iya, siap abha..
Dharmasraya mengarahkan telunjuknya ke arah kening Ziusudra. Dari telunjuk Dharmasraya keluar sinar laser warna kuning, bergerak cepat, dan menembak masuk ke dalam kening Ziusudra. Seketika Ziusudra terpelanting beberapa meter ke arah belakang. Lalu, Dharmasraya menyuruh Ziusudra, kembali ke posisi semula.
Sambil ngos-ngosan Ziusudra berusaha keras bangkit ke posisi semula. Duduk sila. Sekujur badan Ziusudra terlihat gemetar hebat dan meneteskan banyak keringat. Lantas, Ziusudra ambruk, berguling-guling, dan terus berguling-guling.
Dharmasraya menyuruh Ziusudra mengambil ke posisi semula, duduk bersila. Dengan sekuat tenaga, Ziusudra mencoba bangkit, meski tergopoh-gopoh. Ziusudra bangkit dan duduk bersila. Seluruh otot terlihat membesar, kencang, dan sekujur tubuhnya masih gemetaran. Dharmasraya menyuruh Ziusudra untuk tetap menenangkan diri, dengan mengatur ritme nafasnya.
Ziusudra menghela nafas panjang, menahan sebentar, terus membuang secara perlahan. Tidak memburu atau tidak terburu-buru selama proses pembuangan nafasnya. Hal ini agar ia bisa merasakan dan menikmati selama proses olah nafas itu. Ziusudra mulai terlihat konsentrasi penuh dalam mengolah nafasnya. Instruksi dari Dharmasraya diresponnya dengan sangat baik.
Perlahan getaran badannya mulai tenang, detak jantung menurun, pun suhu badan kembali normal. Hela dan hembusan nafasnya juga makin stabil. Artinya, sekarang Ziusudra sudah dapat mengontrol letupan-letupan energi yang masuk ke dalam tubuhnya.
Otot-otot yang tadinya membesar dan kencang, mulai terlihat mengecil, kendor, dan tenang. Setelah semua normal, Ziusudra membuka mata. Terlihat bola mata Ziusudra semakin tajam, dengan sorot matanya semakin menyala.
Dharmasraya lalu bertanya, “Ziusudra apa yang kau rasakan sekarang?”
Kondisi saya semakin baik, Abha…
Coba ceritakan secara jelas apa yang tadi dirasakan, setelah saya menembak ke keningmu.
Tadi mendadak kepala saya terasa berat, pusing, otot-otot membesar, badan gemetar kencang, panas-dingin. Meski berguling-guling, saya tetap berusaha menjaga kesadaran, berusaha duduk sila, dan mengolah nafas. Setelah mengolah nafas, badan semakin membaik. Panas-dingin perlahan hilang, otot-otot yang tadinya berdenyut kencang semakin kendor, getaran badan semakin pelan. Hawa panas di ubun-ubun, menyebar ke punggung, menjalar sampai ke tulang ekor. Lalu di sekitar tulang ekor berasa gatal, seperti kesemutan. Setelah itu, badan saya kembali normal, bahkan merasa lebih segar daripada sebelumnya. Begitu abha, itulah yang tadi saya rasakan.
Baik, Ziusudra. Itu artinya, energimu sudah aktif sampai ke tingkat 40%. Tapi saat ini, energi yang disetting sekitar 10 %. Saat ini, dengan energi 10%, itu mode aman buatmu dan planet ini. Untuk mencapai level energi 40 %, sekarang bisa kau sendiri yang meningkatkannya, tapi sebelum meningkatkannya perkuat jasadmu terlebih dahulu supaya siap menampung energi yang besar itu. Cara memperkuat jasad itu dengan latihan rutin mengolah napas, makan makanan yang sehat, berpikir positif, berbuat baik kepada sesama dan alam sekitarmu.
Kini, sudah waktunya, kau menjalankan misi, sampaikanlah pesan-pesan kebaikan kepada semua orang, terutama sebagian Atlantean pengikut Bhallaga yang sudah jauh dari sistem yang benar. Bangkitkan kesadaran mereka untuk hidup sesuai alur Semesta. Cegah kerusakan-kerusakan yang diperbuat oleh siapa pun.
Jika ternyata planet ini diputuskan harus direset, nanti selamatkan orang-orang yang ikut denganmu, meski mereka Atlantis pengikut Bhallaga. Selamatkan orang-orang yang diperbudak Bhallaga, selamatkan orang-orang tak berdosa, selamatkan juga segala jenis hewan dan tumbuhan yang ada di sini sebelum reset itu terjadi.
Selamatkan….selamatkan…selamatkanlah mereka, Ziusudra..
Segala puja bagi Sang Pencipta….
Perlahan memudar sosok Dharmasraya dari hadapan Ziusudra…..
(Bersambung)
Trackbacks & Pingbacks
[…] Bersambung kebagian kedua : The Last Warrior, Part 2 […]
Comments are closed.